
BARRU, SIT ZAM-ZAM — Di era keemasan ilmiah Islam, muncul sederet matematikawan muslim yang mewariskan fondasi penting bagi matematika modern: misalnya Muhammad ibn Musa al‑Khwarizmi (sekitar 780-850) yang menulis kitab Al-Jabr wa al-Muqābala dan memperkenalkan konsep aljabar serta numerasi Hindu-Arab. Kemudian ada Abu Yusuf Yaʿqub ibn Ishaq al‑Kindi (kira-kira 801-873) yang mempelopori pengenalan sistem angka India ke dunia Islam dan menyumbangkan banyak karya dalam aritmetika dan geometri. Tidak kalah penting adalah Abū Kāmil Shujāʿ ibn Aslam (sekitar 850-930) yang meneruskan tradisi aljabar, termasuk pengenalan bilangan irasional sebagai solusi persamaan, dan kemudian mempengaruhi matematikawan Eropa seperti Fibonacci. Dengan warisan semacam ini, pembelajaran matematika di institusi-institusi modern seperti Sekolah Islam Terpadu Zam‑Zam mengambil inspirasi bahwa matematika bukan sekadar hitung-menghitung, tetapi bagian dari tradisi ilmiah Islam yang memadukan akal dan wahyu.
Di SIT Zam-Zam, pembelajaran matematika tidak hanya dipandang sebagai akumulasi angka, rumus, dan latihan hitung semata, melainkan sebagai perjalanan ilmiah yang terintegrasi dengan Al-Qur’an dan nilai-nilai Islam. Sekolah ini mengusung konsep “Matematika Islam” — yakni matematika yang dipelajari dengan kesadaran bahwa ilmu itu bersumber dari Sang Pencipta, Allah SWT, dan bahwa rasio, angka, pola, dan struktur matematika mencerminkan keteraturan ciptaan-Nya. Dengan demikian, ketika siswa-siswi mempelajari aljabar, geometri atau statistik, mereka juga diingatkan bahwa warisan ilmuwan muslim dahulu seperti Muhammad ibn Musa al‑Khwārizmī — yang dikenal sebagai bapak aljabar — bukan sekadar tokoh matematika, tetapi juga bagian dari tradisi keilmuan Islam yang menjembatani iman dan akal.
Di SIT Zam-Zam, para guru mengajak siswa untuk melihat bahwa rumus dan bilangan bukan hanya alat untuk menyelesaikan soal, tetapi merupakan “bahasa” yang Allah gunakan dalam alam semesta-Nya. Misalnya, ketika mempelajari perbandingan, siswa diajak merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keteraturan alam, keseimbangan ciptaan, dan keagungan Sang Pencipta. Dengan pendekatan ini, matematika menjadi sarana untuk memperkuat keimanan sekaligus meningkatkan kemampuan berpikir logis dan analitis. Model pembelajaran yang demikian menjadikan matematika sebagai jembatan antara akal dan wahyu — bukan dua ruang yang terpisah, melainkan ruang yang saling melengkapi.
Lebih lanjut, SIT Zam-Zam mengintegrasikan kegiatan tahfiz dan muhasabah (refleksi) dengan mata pelajaran matematika: siswa tidak hanya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an tetapi juga diajak menemukan pola-pola numerik, geometri, simetri, dan struktur logis yang hadir dalam alam dan dalam Al-Qur’an itu sendiri. Misalnya, konsep bilangan prima, simetri geometrik, atau hubungan angka dalam warisan matematikawan Islam dijadikan contoh bagaimana manusia dapat “meneliti” ciptaan Allah dengan metode ilmiah yang bertanggung jawab. Warisan ilmuwan muslim seperti Abū Kāmil Shujāʿ ibn Aslam, yang mengembangkan aljabar lebih lanjut, dan Abū al‑Wafāʾ al‑Būzjānī yang membuat kemajuan di trigonometri, menjadi inspirasi bahwa matematika dalam tradisi Islam memang telah lama menghubungkan akal, pengamatan alam, dan keimanan.
Dengan demikian, pendidikan matematika di SIT Zam-Zam bukan hanya mempersiapkan siswa untuk sukses dalam ujian atau memasuki perguruan tinggi, tetapi juga membentuk pribadi-yang-ilmiah sekaligus berakhlak. Siswa dilatih melihat persoalan sebagai tantangan untuk dipecahkan dengan logika dan kreativitas, namun selalu dalam kerangka bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan bahwa ilmu itu amanah. Ketika mereka menyelesaikan soal rumus, mereka juga diingatkan bahwa rumus itu bisa bermanfaat bagi sesama—sebagai sarana memperbaiki kualitas hidup, menumbuhkan keadilan, dan memperkuat persaudaraan.
Dengan cara ini, SIT Zam-Zam mewujudkan visi besar: mencetak generasi yang bukan hanya menguasai matematika, tetapi memahami bahwa matematika adalah bagian dari jalan penghambaan kepada Allah—sebagai penghitung yang adil, peneliti yang rendah hati, dan penerus tradisi keilmuan Islam yang menghubungkan akal, wahyu, dan amal.


